PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA PERSONIL DALAM MENDUKUNG PERAN POLRI MENYONGSONG MASA DEPAN YANG PENUH DENGAN TANTANGAN
Sen, 26th Januari 2009Oleh: RENDROKO BHUWONO, Spd
NEGOSIATOR DIT SAMAPTA POLDA JAWA BARAT
Sebagaimana kita lihat bersama Dapen yang ada sekarang belumlah memiliki manfaat yang berarti didalam menghadapi tantangan Polri kedepan. Coba perhatikan pelaku tindak kejahatan yang dapat memanfaat segala celah dari suatu kelemahan birokrasi, belum lagi semakin bervariasinya modus operandi yang ada.
Kalau melihat obsesi mantan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Sutanto, saat beliau pertama kali menjabat sebagai TB – 1, dalam bukunya yang berjudul Polri Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra, yang dihimpun oleh Brigjen Pol Drs. Budi Gunawan, sangatlah gamblang memaparkan obsesi beliau untuk lebih mendinamisasikan sumber daya manusia Polri dengan mengedepankan perubahan dalam mengelola personel salah satunya dengan melakukan penilaian kinerja personel.
Hal itu diperkuat dengan teori-teori yang mendukung dalam Management Human Resources Development (MHRD) yang mengharuskan suatu organisasi modern untuk senantiasa mengadakan Performance Appraisel (PA) terhadap personel dikelolanya, dimana PA berarti suatu Penilaian Kinerja terhadap personel yang bermakna pada suatu pengharkatan terhadap personel berupa pembobotan kinerja yang telah dikerjakan yang sesuai dengan standardisasi, relevansi, konsistensi, tersosialisasi, hal itu sebagai bagian dalam mendinamisasikan personel-personel yang dikelolanya, merupakan bagian dari suatu organisasi yang besar dan modern.
Sebenarnya hal apa yang perlu dinilai dalam menilai kinerja seorang Personel sebagaimana hasil penelitian Direktorat Pengkajian dan Pengembangan Sespim Polri menunjukkan bahwa komponen penilaian yang ada pada Dapen saat ini masih belum memadai karena hanya menyangkut aspek-aspek kepribadian belaka seharusnya masih ada aspek-aspek lain yang seharusnya masuk didalam penilaian seperti : Kompetensi dan Potensi personel sehingga dapat diambil suatu penilaian yang akurat.
Dimana dalam kompetensi sendiri terdiri dari 2 (dua) kompetensi perilaku (soft competence) dan kompetensi tekhnis (hard competence), disini bermakna bahwa jabatan yang ada pada organisasi terbagai dalam 2 kelompok besar yaitu jabatan-jabatan umum dan jabatan-jabatan khas.
Manfaat apa yang akan didapat sebagai seorang manajer dengan penerapan PA, sudah pasti adalah menggiring Polri menuju suatu organisasi yang sehat. Mengapa dapat sehat karena akan menjadi suatu kenyataan bahwa right man on the right place akan diterapkan dalam organisasi itu. Dalam kenyataan yang ada, seorang manajer akan memiliki kecenderungan yang kuat menggunakan Johari Management (kacamata kuda) didalam mengendalikan organisasinya, sebagaimana kita ketahui bersama metode ini hanya berpatokan pada sesuatu yang berada didepannya saja, tanpa mengetahui sisi lain yang ada pada seorang personel. Sehingga perlunya suatu instrumen yang dapat membantu seorang manajer mengetahui sisi lain yang tidak dapat dilihat dari pesonel yang dimanagenya lebih transparan.
Hal-hal yang selalu terlontar oleh para penentu kebijakan dengan penuh skeptis adalah sebagai berikut : 1) Apakah dengan penerapan PA, akan lebih merepotkan seorang manajer. 2) Apakah dengan penerapan PA, akan merubah budaya organisasi kita. 3) Apakah kita siap dengan perubahan budaya organisasi, bila PA diimplementasikan. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tersebut haruslah dicermati secara rasional, tidak begitu saja diabaikan.
Perilaku positif dari seorang manajer akan menggiring perilaku positif organisasi. Dalam perilaku organisasi akan memberi dampak pada suatu Budaya organisasi yang sehat, hal ini akan bermuara pada positifnya tingkat produktifitas organisasi itu. Nuansa-nuansa ini akan memberi motivasi-motivasi positif kepada segenap personal dalam mengawaki posisi-posisi dari organisasi itu, yang sudah barang tentu meningkatkan sinergitas-sinergitas yang berdampak pada empat perspektif dari balance score card yaitu manajemen strategi yang menyeimbangkan wacana komersial dengan non komersial yang di kemukakan oleh Norton dan Kaplan, dimana dalam pengimplementasiannya berdasarkan 4 perspektif adalah 1) perspektif keuangan, 2) perspektif pelanggan, 3) perspektif proses internal dan 4) perspektif pembelajaran / pertumbuhan, yang bermuara pada visi dan misi organisasi.
Sebagai pelopor sekaligus contoh Balance Score Card ini ada di Kanada sudah diterjemahkan dalam organisasi kepolisian menjadi Police Score Card oleh Royal Canadian Mounted Police (RCMP). Dalam Balance Score Card sendiri memiliki instrumen inti berupa Key Performance Indikator (KPI), ialah menggunakan indikator-indikator tertentu sebagai kunci dari suatu kinerja, yang memiliki kemiripan dan hampir sama dengan PA.
Bahwa setiap individu Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki keunikan masing-masing berupa unsur pengetahuan (Knowledge), Kemampuan (Skill) dan Sikap (Attitude) yang dapat diistilahkan (KSA) sebagai unsur tahu, mampu dan mau, diharapkan mampu memberi wawasan bagi manajer untuk melecut personel dibawahnya untuk lebih menghasilkan kinerja terbaik, dengan memberi rangsangan (stimulant) berupa reward and punishment. Yang berarti bahwa SDM merupakan suatu asset dari organisasi atau yang dikenal dengan Intangible asset (Asset yang tidak berwujud) dan merupakan bagian dari strategi organisasi.
Lebih jauh diharapkan, sebagaimana pengalaman beberapa organisasi besar, timbulnya suatu efek domino pada pengelolaan karier yang dimanage oleh organisasi tersebut, bukan oleh masing-masing individu personel. Personel maupun individu itu diharapkan dapat lebih memfokuskan pada kinerjanya sesuai posisinya secara maksimal, syukur-syukur dapat mengembangkan tugas yang diberikan sesuai tantangan yang dihadapi oleh organisasi tersebut.
Dalam pengimplementasiannya perlu ditumbuhkan transparansi dan kejujuran dengan prinsip kesamaan peluang, keselarasan, efisiensi dan kesinambungan. Prinsip ini sangat diperlukan dan harus karena merupakan bagian dari akuntabilitas publik suatu penilaian kinerja itu sendiri. Hal ini diperlukan suatu sistem yang lebih integratif dan progresif, didalam penjabarannya. Para manajer-manajer kita masih terlalu skeptis terhadap penilaian kinerja, hal ini dikarena rendahnya motivasi-motivasi untuk berbuat positif kearah pengelolaan Sumber Daya Manusia yang lebih Humanis.
Sebagaimana hasil penelitian penulis yang dilaksanakan penulis di Polres Subang pada tanggal 10 April 2008 dalam rangka penulisan Taskap, menunjukkan bahwa manajer maupun pejabat pengelola SDM (Human Resource Development Manager) / Kabagmin, merasakan kesulitan dalam menentukan posisi-posisi yang tepat personel yang dikelola, kesulitan dikarenakan tidak memiliki instrumen baku penilaian, sehingga dominan melalui kebijaksanaan manajer, terkadang menggunakan pola sosiometri, yang belum disesuaikan metode pengharkatan maupun pembobotannya. Penggunaan Sosiometri ini masih sedikit objektif walau banyak sisi subyektifnya, dibanding tidak sama sekali yang hanya menghandalkan kebijaksanaan manajer belaka.
Tulisan ini merupakan sumbang saran, penulis kepada organisasi Polri agar lebih maju dimasa yang akan datang. Dengan bermodal positif thinking, diharapkan Penilaian Kinerja dapat terimplementasi dengan comprehensif. Mengapa tidak dicoba, mari kita perlakukan organisasi Polri sebagai tempat kita mencari penghidupan ini dengan layak sehingga kedepan akan menjadi sesuatu organisasi modern dan besar.